Sabtu, 13 April 2013

Hujan

Hujan adalah peristiwa turunnya butir-butir air dari langit ke permukaan bumi. Hujan memerlukan keberadaan lapisan atmosfer tebal agar dapat menemui suhu di atas titik leleh es di dekat dan di atas permukaan Bumi.

Proses Terjadinya Hujan

Meski dalam kehidupan sehari-hari kita tidak pernah terlepas dari fenomena hujan, tetapi mungkin diantara kita masih ada yang belum mengetahui bagaimana siklus atau proses terjadinya hujan tersebut. Untuk mempelajari hal tersebut, maka akan diuraikan secara jelas kepada Anda berikut ini.

siklus proses terjadinya hujan

Hujan terjadi akibat dipengaruhi oleh konveksi di atmosfer bumi dan lautan. Konveksi merupakan sebuah proses pemindahan panas oleh gerak massa suatu fluida dari suatu daerah ke daerah yang lainnya. Air yang terdiri dari air laut, air sungai, air limbah dan sebagainya pada umumnya akan mengalami proses penguapan atau evaporsi akibat dari panas sinar matahari. Uap air yang melayang ke udara akhirnya akan terus bergerak menuju langit yang tinggi, dan akhirnya menjadi kumpulan uap air yang sangat besar.

Uap air yang telah berkumpul di langit yang tinggi kemudian akan mengalami proses pemadatan atau secara ilmiah disebut juga dengan kondensasi, sehingga akan membentuk awan.

Akibat terbawa angin yang bergerak, awan-awan tersebut saling bertemu dan membesar dan kemudian menuju ke atmosfir bumi yang suhunya lebih rendah atau dingin dan akhirnya membentuk butiran es dan air.

Karena terlalu berat dan tidak mampu lagi ditopang angin akhirnya butiran-butiran air atau es tersebut jatuh ke permukaan bumi, proses ini disebut juga proses presipitasi. Karena semakin rendah, mengakibatkan suhu semakin naik maka es/salju akan mencair, namun jika suhunya sangat rendah, maka akan turun tetap menjadi salju.

Jenis – Jenis Hujan

Hujan dibedakan menurut terjadinya, ukuran butirannya, dan curah hujannya. Berikut ini adalah penjelasannya.

Jenis-jenis hujan berdasarkan terjadinya
  • Hujan siklonal
Yaitu hujan yang terjadi karena udara panas yang naik disertai dengan angin berputar.
  • Hujan zenithal
Yaitu hujan yang sering terjadi di daerah sekitar ekuator, akibat pertemuan Angin Pasat Timur Laut dengan Angin Pasat Tenggara. Kemudian angin tersebut naik dan membentuk gumpalan-gumpalan awan di sekitar ekuator yang berakibat awan menjadi jenuh dan turunlah hujan.
  • Hujan orografis
Yaitu hujan yang terjadi karena angin yang mengandung uap air yang bergerak horisontal. Angin tersebut naik menuju pegunungan, suhu udara menjadi dingin sehingga terjadi kondensasi. Terjadilah hujan di sekitar pegunungan.
  • Hujan frontal
Yaitu hujan yang terjadi apabila massa udara yang dingin bertemu dengan massa udara yang panas. Tempat pertemuan antara kedua massa itu disebut bidang front. Karena lebih berat massa udara dingin lebih berada di bawah. Di sekitar bidang front inilah sering terjadi hujan lebat yang disebut hujan frontal.
  • Hujan muson atau hujan musiman
Yaitu hujan yang terjadi karena Angin Musim (Angin Muson). Penyebab terjadinya Angin Muson adalah karena adanya pergerakan semu tahunan Matahari antara Garis Balik Utara dan Garis Balik Selatan. Di Indonesia, hujan muson terjadi bulan Oktober sampai April. Sementara di kawasan Asia Timur terjadi bulan Mei sampai Agustus. Siklus muson inilah yang menyebabkan adanya musim penghujan dan musim kemarau.

Jenis-jenis hujan berdasarkan ukuran butirnya
  • Hujan gerimis / drizzle, diameter butirannya kurang dari 0,5 mm.
  • Hujan salju, terdiri dari kristal-kristal es yang suhunya berada dibawah 0° Celsius.
  • Hujan batu es, curahan batu es yang turun dalam cuaca panas dari awan yang suhunya dibawah 0° Celsius.
  • Hujan deras / rain, curahan air yang turun dari awan dengan suhu diatas 0° Celsius dengan diameter ±7 mm.

Jenis-jenis hujan berdasarkan besarnya curah hujan (definisi BMKG)
  • hujan sedang, 20 – 50 mm per hari
  • hujan lebat, 50-100 mm per hari.
  • hujan sangat lebat, di atas 100 mm per hari.                                                             
Pemanfaatan Air Hujan
  
A. Kolam Pengumpul Air Hujan

1. Kolam Pengumpul Air Hujan di atas Permukaan Tanah


Cara ini diperuntukkan bagi lokasi yang mempunyai karakteristik sebagai berikut:
  1. muka air tanah dangkal < 1 m;
  2. jenis tanah yang mempunyai kapasitas infiltrasi rendah seperti lempung dan liat; atau
  3. kawasan karst, rawa, dan/atau gambut.
b. Konstruksi
  1. membuat saluran air dari talang bangunan (dengan bahan PVC) ke dalam kolam pengumpul air hujan;
  2. membuat kolam pengumpul air hujan dari beton, batu bata,  tanah liat atau bak fiber/aluminium, dilengkapi dengan  saluran pelimpasan keluar dari kolam pengumpul air hujan; dan
  3. membuat penutup kolam pengumpul air hujan.
c. Pemeliharaan
  1. membersihkan talang dan saluran air dari kotoran seperti ranting, dedaunan agar tidak tersumbat; dan/atau
  2. melakukan analisis laboratorium untuk mengetahui kualitas air di dalam kolam pengumpul air (bila perlu).
2. Kolam Pengumpul Air Hujan di bawah Permukaan Tanah

Cara ini diperuntukkan bagi lokasi yang mempunyai karakteristik sebagai berikut:
  1. daerah bebas banjir;
  2. muka air tanah dangkal > 2 m;
  3. keterbatasan ruang di atas tanah; dan/atau
  4. daerah dengan ketinggian permukaan tanah minimal di  atas 10 m di atas permukaan laut dengan luas lahan terbatas.
b. Konstruksi
  1. membuat saluran air (PVC) dari talang bangunan ke dalam kolam pengumpul air hujan;
  2. membuat kolam pengumpul air hujan dari beton, batu bata,  atau bak fiber/aluminium dilengkapi dengan saluran  pelimpasan keluar dari kolam pengumpul air hujan. Apabila  kolam pengumpul tersebut dimanfaatkan untuk keperluan  sehari-hari maka dapat dilengkapi dengan pompa air yang diletakkan pada permukaan tanah; dan
  3. membuat penutup kolam pengumpul air hujan.
c. Pemeliharaan
  1. membersihkan talang dari kotoran seperti ranting, dedaunan agar tidak tersumbat; dan/atau
  2. melakukan analisis laboratorium untuk mengetahui kualitas air di dalam kolam pengumpul air (bila perlu).
B. Sumur Resapan
1. Sumur Resapan Dangkal

Cara ini diperuntukkan bagi lokasi yang mempunyai karakteristik sebagai berikut:
  1. tinggi muka air tanah > 0,5 m; dan/atau
  2. berada pada lahan yang datar dan berjarak minimum 1 m dari pondasi bangunan.

  1. sumur resapan dangkal dibuat dalam bentuk bundar atau  empat persegi dengan menggunakan batako atau bata merah atau buis beton;
  2. sumur resapan dangkal dibuat pada kedalaman di atas  muka air tanah atau kedalaman antara 0,5 – 10 m di atas  muka air tanah dangkal dan dilengkapi dengan memasang  ijuk, koral serta pasir sebesar 25% dari volume sumur resapan dangkal;
  3. sumur resapan dangkal dilengkapi dengan bak kontrol  yang dibangun berjarak + 50 cm dari sumur resapan dangkal yang berfungsi sebagai pengendap;
  4. sumur resapan dangkal dan bak kontrol dilengkapi dengan  penutup yang dapat dibuat dari beton bertulang atau plat besi;
  5. membuat saluran air dari talang rumah atau saluran air di  atas permukaan tanah untuk dimasukkan ke dalam sumur  dengan ukuran sesuai jumlah aliran. Sumur resapan yang  sumber airnya dialirkan melalui talang bangunan tidak perlu membuat bak kontrol; dan
  6. memasang pipa pembuangan yang berfungsi sebagai  saluran limpasan jika air dalam sumur resapan sudah penuh.
c. Pemeliharaan
  1. membersihkan bak kontrol dan sumur resapan dangkal  dengan mengangkat filter yang berupa ijuk, koral dan pasir  pada setiap menjelang musim penghujan atau disesuaikan dengan kondisi tingkat kebersihan filter; dan/atau
  2. melakukan analisis laboratorium untuk mengetahui  kualitas air yang masuk ke dalam sumur resapan apabila  terdapat unsur-unsur tercemar. Parameter analisa air  tanah dapat mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan  Nomor 416 Tahun 1990 tentang Syarat-Syarat dan Pengawasan Kualitas Air.
2. Sumur Resapan Dalam

  1. diutamakan di daerah land subsidence dan/atau daerah genangan;
  2. penurunan muka air tanah dalam kondisi kritis;
  3. ketinggian muka air tanah > 4 m; dan/atau
  4. sumur resapan dalam dapat dipadukan dengan sumur eksploitasi yang telah ada dan/atau yang akan dibuat.
b. Konstruksi
  1. sumur resapan dalam dibuat melalui pemboran dengan  lubang bor tegak lurus dan diameter minimal 275 mm (11 inch) untuk seluruh kedalaman;
  2. diameter pipa lindung dan saringan minimal 150 mm (6  inch);
  3. kedalaman sumur resapan dalam disesuaikan dengan kondisi akuifer dalam yang ada;
  4. bibir sumur atau ujung atas pipa lindung terletak minimal  0,25 m di atas muka tanah dan dilengkapi dengan penutup pipa;
  5. saringan sumur bor harus ditempatkan tepat pada  kedudukan akuifer yang disarankan untuk peresapan.  Apabila akuifernya mempunyai ketebalan lebih dari 3 m,  maka panjang minimal saringan yang dipasang harus 3 m, ditempatkan di bagian tengah akuifer;
  6. ruang antara dinding lubang bor dan pipa lindung di atas  dan di bawah pembalut kerikil diinjeksi dengan lumpur  penyekat, sehingga terbentuk penyekat-penyekat setebal 3  m di bawah kerikil pembalut dan setebal minimal 2 m di atas kerikil pembalut;
  7. ruang antara dinding lubang bor dan pipa jambang di atas  kerikil pembalut mulai dari atas lempung penyekat hingga  kedalaman 0,25 m di bawah muka tanah harus diinjeksi dengan bubur semen, sehingga terbentuk semen penyekat;
  8. di sekeliling sumur harus dibuat lantai beton semen  dengan luas minimal 1 m2, berketebalan minimal 0,5 m  mulai 0,25 m di bawah muka tanah hingga 0,25 m di atas muka tanah;
  9. sumur resapan dalam dilengkapi dengan 2 buah bak  kontrol yang dibuat secara bertingkat dengan  menggunakan batu bata, batako, atau cor semen secara  berhimpit berukur panjang 1 m, lebar 1,5 m, dan  kedalaman 1,5 m, dasar bak kontrol disemen; dan
  10. untuk bak penyaring, dibuat dengan kedalaman 1 m dan  diisi dengan pasir dengan ketebalan 25 cm, koral setebal  25 cm dan ijuk setebal 25 cm. Bak kontrol 2, dengan  kedalaman 1,5 m diisi dengan ijuk setebal 25 cm, arang  aktif setebal 25 cm, koral setebal 25 cm, dan ijuk setebal 25 cm.
c. Pemeliharaan
  1. membersihkan atau mengganti penyaring dari kotoran dan  endapan/lumpur yang menyumbat pada bak penyaring,  pada musim penghujan dan kemarau atau sesuai dengan keperluan; dan/atau
  2. melakukan analisis laboratorium untuk mengetahui  kualitas air yang masuk ke dalam sumur resapan.  Parameter analisa air tanah dapat mengacu pada Peraturan  Menteri Kesehatan Nomor 416 Tahun 1990 tentang Syarat-Syarat dan Pengawasan Kualitas Air.
C. Lubang Resapan Biopori (LRB)

a. daerah sekitar pemukiman, taman, halaman parkir dan sekitar pohon; dan/atau
b. pada daerah yang dilewati aliran air hujan.
2. Konstruksi
a. membuat lubang silindris ke dalam tanah dengan diameter  10 cm, kedalaman 100 cm atau tidak melampaui  kedalaman air tanah. Jarak pembuatan lubang resapan biopori antara 50 – 100 cm;
b. memperkuat mulut atau pangkal lubang dengan menggunakan:
  1. paralon dengan diameter 10 cm, panjang minimal 10 cm; atau
  2. adukan semen selebar 2 – 3 cm, setebal 2 cm disekeliling mulut lubang.
c. mengisi lubang LRB dengan sampah organik yang berasal  dari dedaunan, pangkasan rumput dari halaman atau sampah dapur; dan
d. menutup lubang resapan biopori dengan kawat saringan.

3. Pemeliharaan
a. mengisi sampah organik kedalam lubang resapan biopori;
b. memasukkan sampah organik secara berkala pada saat  terjadi penurunan volume sampah organik pada lubang resapan biopori; dan/atau
c. mengambil sampah organik yang ada dalam lubang resapan  biopori setelah menjadi kompos diperkirakan 2 – 3 bulan telah terjadi proses pelapukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar